Kalender Ekonomi

Sabtu, 05 Maret 2011

Tradisi Meletakkan Mayat di Bawah Pohon Kemenyan masyarakat Trunyan, Bali

Desa Trunyan merupakan sebuah desa kuno di tepi danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa ini merupakan sebuah desa Bali Aga, Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik Bali Aga, berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli. Kebudayaan orang Trunyan mencerminkan satu pola kebudayaan petani yang konservatif.
Berdasarkan folk etimologi, penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai satu mite atau dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit.
Versi kedua, orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata “taru” dan “menyan” berkembang kata Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut.
Desa Trunyan terletak di sebelah timur bibir danau Batur, letak ini sangat terpencil. Jalan darat dari Penelokan, Kintamani, hanya sampai di desa Kedisan. Dari Kedisan ke desa Trunyan orang harus menyeberang danau Batur selama 45 menit dengan perahu bermotor atau 2 jam dengan perahu lesung yang digerakkan dengan dayung. Selain jalan air, Trunyan juga dapat dicapai lewat darat, lewat jalan setapak melalui desa Buahan dan Abang.
Hawa udara desa Trunyan sangat sejuk, suhunya rata-rata 17 derajat Celcius dan dapat turun sampai 12 derajat Celcius. Danau Batur dengan ukuran panjang 9 km dan lebar 5 km merupakan salah satu sumber air dan sumber kehidupan agraris masyarakat Bali selatan dan timur.
 
Desa Trunyan yang berlokasi di sebelah timur Danau Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali memiliki tradisi unik yaitu tidak mengubur mayat, melainkan meletakkan mayat di bawah pohon kemenyan.
“Tradisi itu sudah kami lakukan secara turun temurun,” kata Jro Nyarikan Nada kepada ANTARA, Senin.
Ia mengatakan tradisi itu berlaku hanya untuk warga yang meninggal biasa dan tidak cacat fisik. ” Jika mati tidak wajar (bunuh diri) mayatnya akan dikubur di Sema Bantas (kuburan bantas,” jelasnya.
Khusus untuk mayat bayi, kata Nada, dikubur di Sema Muda (kuburan muda).
Menaruh mayat di bawah pohon kemenyan, hanya boleh bagi 11 mayat. “Jika ada salah satu mayat yang sudah kering dan tinggal tulang belulang barulah boleh menaruh mayat lagi,” ungkapnya.
Mayat yang disandarkan sama sekali tidak mengeluarkan bau busuk karena penyerapan pohon kemenyan yang mampu menetralisir bau busuk,  jelasnya.
Tradisi ini tidak berlaku bagi warga yang keluar menikah dan tidak mau mengikuti tradisi itu.
“Masyarakat asli Trunyan berjumlah 200 KK yang merupakan penduduk turun-temurun, jika menikahi orang luar yang bersangkutan bisa tinggal di Desa Trunyan asalkan mengikuti tradisi itu,” jelasnya.
Menurut sejarah, Desa Trunyan merupakan salah satu dari tiga suku asli di Bali dan bukan gelombang pengungsian dari Majapahit. Dua suku asli lainnya berada di Karangasem bernama Suku Telengan, dan suku Suku Yeh Ketipat di Buleleng.
Saat ini, bukti sejarah peninggalan suku asli Bali itu, jelas Nada, masih ada diantaranya adanya pura kuno yang bernama “Pura Pancering Jagat.”
Ia mengatakan, seperti tercata dalam prasasti Trunyan disebutkan pada tahun saka 813 ( 891 Masehi) raja Singhamandawa memberikan izin kepada penduduk untuk mendirikan pura Turun Hyang atau Pura Pancering Jagat sebagai tempat pemujaan Betara Da Tonta (Hyang Pancering Jagat).
” Pura yan dilengkapi meru tumpang pitu (tujuh) ini dipercaya sebagai pura pertama di Bali,”  jelasnya. (sumber: Antara)
Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar

Live Currency

KALENDER EKONOMI





GainScope.com – Forex